Di setiap pertemuan, kita sering percaya ada ruang bagi kebetulan. Dua manusia saling berpapasan, bertukar sapa, lalu perlahan merasa menemukan satu sama lain. Namun kalimat lama mengingatkan: “Bukan bertemu lalu berjodoh, tetapi karena berjodoh akhirnya dipertemukan.”
Takdir selalu punya cara merangkai cerita. Ada yang datang hanya sebentar untuk singgah, lalu hilang ditelan jarak. Ada pula yang tetap bertahan, memberi arti, bahkan menyatu dalam kehidupan kita. Perbedaan itu bukan sekadar pilihan, melainkan garis halus yang digariskan sejak semula.
Al-Qur’an menyebut:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Az-Zariyat: 49)
Mereka yang memang tidak ditakdirkan, akan menemukan alasan untuk pergi. Bisa lewat perselisihan kecil, bisa juga melalui jarak yang perlahan merenggangkan. Tetapi mereka yang sudah digariskan untuk kita, akan selalu menemukan jalan untuk pulang. Ada semacam tarikan tak kasatmata, seperti magnet yang tak bisa dilawan.
Rasulullah SAW menegaskan:
“Tidak ada suatu jiwa pun yang wafat sebelum disempurnakan rezekinya, ajalnya, dan jodohnya.” (HR. Ibnu Hibban)
Kesadaran ini menghadirkan ketenangan. Bahwa tugas manusia bukanlah mengatur siapa yang datang atau pergi, melainkan menjaga hati agar tetap lapang menerima. Tak perlu cemas jika seseorang menjauh; bisa jadi memang bukan bagian dari takdir kita. Sebaliknya, tak perlu risau menahan yang sudah digariskan untuk menetap—sebab mereka akan menemukan jalannya sendiri untuk kembali.
Dalam makna yang lebih luas, jodoh tidak selalu tentang pasangan hidup. Ia bisa berupa sahabat yang setia, guru yang membimbing, atau jalan hidup yang menuntun kita menuju makna. Semua adalah potongan mozaik yang kelak terlihat utuh saat kita menengok ke belakang.
Pada akhirnya, yang kita butuhkan hanyalah kepercayaan pada rancangan besar. Karena mereka yang sejatinya berjodoh dengan kita—dalam cinta, persahabatan, maupun perjuangan—akan selalu menemukan jalan pulang.
Penulis : Mashud Azikin (Founder Manggalla Tanpa Sekat, Penggiat Ecoenzym)
Mashud Azikin adalah seorang ayah dengan 3 anak yang mendedikasikan hidupnya untuk ecoenzym. Melalui komunitasnya, Manggala Tanpa Sekat (MTS) mengembangkan ecoenzym sebagai sebuah solusi bagi persoalan sampah organik di Kota Makassar. Kiprahnya turut membantu Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar dengan melakukan penyiraman ecoenzym ke kolam lindi dan TPA Tamangapa.
Pengaplikasian ecoenzym di TPA Tamangapa diharapkan dapat mempercepat proses dekomposisi, sehingga volume sampah dapat dikurangi, dengan kondisi sampah dominan di TPA adalah sampah organik. Bersama istrinya Hamidah, ikut memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang sebagian besar adalah pensiunan, yang berada di sekitar lingkungannya untuk bisa produk ecoenzym ini secara mandiri.
Comment